Nama :
Siti Nursansan
NPM :
8820113067
Kelas :
III B – PBSI
Mata Kuliah : Media
Pembelajaran (Landasan Teoretis Penggunaan Media Pembelajaran)
Dosen :
Dr. Hj. Iis Ristiani, S.Pd., M.Pd., Febri Marindra C. E. S.Pd., M.Pd.
RESUME LANDASAN TEORETIS PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN
Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan, perubahan-perubahan sikap dan
perilaku dapat terjadi karena interaksi antar pengalaman baru dengan pengalaman
yang pernah dialami sebelumnya. Menurut Burner (dalam Arsyad, 2005: 7) ada tiga
tingkatan utama dalam modus belajar, yaitu pengalaman langsung (enactive), pengalaman piktorial/gambar (iconic), dan pengalaman abstrak (symbolic).
- Pengalaman langsung (enactive). Pengalaman ini yaitu mengerjakan, misalnya arti kata ‘simpul’ dipahami secara langsung membuat ‘simpul’.
- Pengalaman piktorial (iconic). Tahap ini merupakan tahap lanjutan dari pengalaman langsung. Pada tahap kedua yang diberi label iconic (artinya gambar/image), kata ‘simpul’ dipelajari dari gambar, lukisan, foto, atau film. Meskipun siswa belum ernah mengikat tali untuk membuat ‘simpul’ mereka dapat memahami atau mempelajarinya dari gambar, lukisan, foto atau film.
- Pengalaman abstrak (symbolic). Pada tingkatan simbol, siswa membaca (atau mendengar) kata ‘simpul’ dan mencoba mencocokannya dengan ‘simpul’ pada image mental atau mencocokannya dengan pengalaman membuat ‘simpul’.
Ketiga
tingkatan ini saling berinteraksi dalam upaya pemerolehan pengalaman (pengetahuan,
keterampilan, atau sikap) yang baru.
Tingkatan
pengalaman pemerolehan hasil belajar seperti itu digambarkan oleh Dale (1969)
sebagai suatu proses komunikasi. Materi yang ingin dsampaikan dan diinginkan
siswa dapat menguasainya disebut sebagai pesan. Guru sebagai sumber pesan
menuangkan pesan ke dalam simbol-simbol tertentu (encoding) dan siswa sebagai penerima menafsirkan simbol-simbol
tersebut sehingga dipahami sebagai pesan (decoding).
Cara pengolahan pesan oleg guru dan murid digambarkan sebagai berikut.
Gambar: Pesan dalam Komunikasi
Gambar di atas
memberikan petunjuk bahwa agar proses belajar mendengar dapat berhasil dengan
baik, siswa sebaiknya diajark untuk memanfaatkan semua alat inderanya. guru
berupaya untuk menampilkan rangsangan yang dapat diproses dengan berbagai
indera. Dengan demikian siswa diharapkan dapt menyerap pesan-pesan dalam materi
yang disajikan.
Livie &
Livie (dalam Arsyad, 2005: 9) menyimpulkan bahwa stimulis visual membuahkan
hasil yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat
kembali dan menghubung-hubungkan fakta dan konsep. Di lain pihak, stimulus
verbal memberi hasil belajar yang lebih apabila pembelajaran itu melibatkan
ingatan berurut-urutan. Hal ini merupakan suatu buti atas konsep dual coding hypotesis (hipotesis koding
ganda) dari Paivio. Konsep itu mengatakan bahwa ada dua sistem ingatan manusia,
satu untuk mengolah sistem-sistem verba, dan yang lain untuk mengolah image
nonverbal.
Belajar dengan
menggunakan indera ganda –pandang dan dengar- berdasarkan konsep di atas, akan
memberikan keuntungan bagi siswa. Siswa akan belajar lebih banyak dari pada
hanya diberikan stimulus pandang atau dengar. Para ahli memiliki pandangan yang
searah mengenai hal itu. Perbandingan pemerolehan hasil belajar melalui indera
pandang dan indera dengar sangat menonjol perbedaannya. kurang lebih 90% hasil
belajar diperoleh melalui indera pandang, dan hanya sekitar 5% diperoleh
melalui indera dengar kemudian 5% lagi dengan indera lainnya. (Baugh dalam
Arsyad, 2005). Sementara itu Dale memperkirakan bahawa pemerolehan belajar
melalui indera pandang berkisar 75%, melalui indera 13%, dan indera lain 12%.
Salah satu
landasan yang banyak digunakan acuan sebagai landasan teori penggunaan media
dalam pembelajaran adalah Dale’s Cone Of
Experience (Kerucut Pengalaman Dale).
Kerucut
tersebut merupakan elaborasi dari konsep tiga tingkatan pengalaman yang
dikemukakan oleg Bruner sebelumnya. Hasil pengalaman seseorang diperoleh mulai dari
pengalaman langsung (kongret), kenyataan yang ada di lingkungan kehidupan
seseorang kemudian melalui benda tiruan, sampai pada lambang verbal (abstrak).
Semakin ke atas krucutnya, semakin abstrak media penyampaian pesan tersebut. Perlu
dicatat, bahwa urutan-urutan ini tidak berarti proses belajar dan interaksi
belajar mengajar harus selalu dimulai dari pengalaman langsung, tetapi dimulai
dengan jenis pengalaman yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
kelompok siswa yang dihadapi dengan mempertimbangkan situasi belajarnya.
Dasar
pengembangan kerucut di atas bukanlah tingkat kesulitan, melainkan tingkat
keabstrakan –jumlah jenis indera yang turut serta selama penerimaan isi
engajaran atau pesan. Pengalaman langsung akan memberikan kesan paling utuh dan
paling bermakna mengenai informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman
itu.
Tingkat
keabstrakan pesan akan semakin tinggi ketika pesan itu dituangkan ke dalam
lambang-lambang seperti bagan, grafik, atau kata. Jika pesan terkandung dalam
lambang-lambang seoerti itu, indera yang dilibatkan untuk menafsirkannya
semakin terbatas, yakni indera penglihatan ataupun indera pendengaran. Meskipun
tingkat partisifasi fisik berkurang, keterlibatan imajinatif semakin bertambah
dan berkembang. Sesungguhnya pengalaman kongkret dan pengalaman abstrak dialami
silih berganti; hasil pengalaman langsung mengubah dan memperluas jangkauan
abstaksi seseorang, dan sebaliknya, kemampuan interpretasi lambang kata
membantu seseorang untuk memahami pengalaman yang di dalamnya ia terlibat
langsung.
Referensi:
Arsyad, Azhar. 2005. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada