Aku badai, datang dengan
sendirinya. Setelah badai berlalu ku ukir namamu dalam gugusan karang di sisi
pantai. Sebuah bait itu cukup menghibur hatiku. Aku tak tau kenapa setiap kali
hati ini terpuruk, Badai bisa membuatku pulih. Aku cukup dekat dengan Badai
walau belum terlalu lama aku mengenalnya.
Lamunan ini mulai membuka ingatan
tadi siang, ketika orang yang aku anggap kekasih menyuguhkan sayatan dihati
ini, sesak rasanya. Sore ini hujan deras, dan aku benci ini, benci karena
suasananya membuatku memikirkannya kembali. Aku benci ketika malam mulai
datang, karena sunyinya mengingatkan aku akan sosoknya.
“Hujan tolong reda dulu, jangan bergemuruh agar suaraku terdengar
nyaring. Ku ingin sampaikan suara keras pada serpihan. Suara keras ini bukan
gertakan, melainkan suara hati yang mendasari rindu”. Sebuah email dari
Badai. Aku tersenyum usai membacanya. Sebuah baitnya mengalihkan perhatian ku
pada kejadian tadi siang. Rasanya aku mulai lelah menjalin hubungan dengan kekasihku,
bagaimana tidak, selalu saja ada masalah setiap harinya. Aku rasa kita sudah
tidak sejalan. Aku coba memberanikan diri untuk menelponnya, beberapa saat
kemudian dia angkat.
“Hallo?”
“Hallo” belum ada yang memulai
pembicaraan, suasana mulai hening.
“Ari?” Aku coba memulai
“Iya sayang? Kamu belum tidur?”
Aku heran, sikapnya mulai manis kembali
“Belum” kita sama-sama diam.
“Mmmm maafin aku tadi siang ya,
aku bentak-bentak kamu, aku nyesel” kata Ari
“Yaudah gapapa, tapi Ari aku rasa
kita udah gak sejalan lagi lebih baik kita akhiri. Kita sama-sama pengen menang
sendiri, kita masih belum dewasa, apa-apa marahan, dikit-dikit berantem, aku
mau udahan”
“Tapi aku sayang kamu, aku kayak
gini karna kamu juga kan, aku gak mau pu....” tut tut tut aku tutup telponnya,
aku gak mau denger itu, aku takut Ari mengurungkan niatku lagi.
Dia terus menghubungiku, tak mau
ambil pusing aku matikan HP nya. Aku mulai menghempaskan badanku ditempat
tidur, aku pandang langit-langit, tak ada yang indah sedikitpun. Malam ini, aku
ingin segera berakhir. Laptop berbunyi, ada sebuah email masuk.
“Saat malam akan bergulir, ku tetap kokoh tak terlelap. Ku haram embun
di pagi nanti mencair, sesempurna malam yang melelapkanmu yang diselimuti mimpi
dan lelahmu. Yakinkan aku untuk memelukmu meski ku peluk kasihmu yang tak
teraba”. Lagi-lagi Badai berhasil membuatku melupakan penat. Dia ibarat
matahari yang tiba-tiba bersinar saat mendung.
“Inilah aku, hanya semilir angin yang sekedar dapat kau rasa, namun tak
dapat kau baca” aku balas email Badai dengan kata-kata yang diulik dalam
sebuah puisi. Kita pun akhirnya chattingan.
“Memandang langit, tak menyurutkanku untuk temani harimu. Rintik hujan
yang deras tak menghalangiku untuk cerahkan mimpimu”. Tak sampai semenit
Badai membalas lagi
“Andai saja kau ditakdirkan sebagai badai penghapus luka ku, mungkin
kelambu yang kelam akan bergeser menjadi terang” aku kurang pandai
merangkai kata, jadi masih amatiran jika harus berbalas sebuah bait dengnnya.
Beberapa saat kemudian Badai balas
“Untuk serpihan, angin yang mengudara masih bernyanyi di musim ini.
Membawa sekian duka, tawa dan air mata, mewarnai hidupmu. Jeritan awan meneteskan
hujan dimalam hari. Mengguyur kasih, membekukan kekasaran sang malam.
Terjangnya gugusan tebing di bukit rindu, mengisyaratkan susahnya hatimu tuk
dilalui. Tak sampai disini, akulah badai yang akan merobohkan lukamu”.
Semakin mengagumkan kata-katanya, membuat hati ini lumer. Aku mulai berfikir,
memutar otak untuk balas bait Badai.
“Larutkanlah aku dalam endapan cintamu, walau tak seorangpun tau kaulah
badai penyembuh luka ku”
“Ku rangkai endapan mu dalam sebuah zat kasih menjadi utuh kembali.
Yakinlah padaku, kara aku jua yakin padamu. Berikan kata pasti, bukan dusta !
kau mengikat cintaku, dan cintaku terikat oleh mu. Aku tak mampu berdiri bila
kau tak membangunkanku. Untuk cinta itu, ketika kau sendiri hapiri aku,
rajutlah cinta itu menjadi sulaman kehidupan bagi kita”
Kali ini Badai benar-benar
membuatku luluh, bahkan jatuh cinta. Bukan karena bait-baitnya tapi dia
benar-benar membuatku nyaman.
“Dekaplah rangkaian itu, jangan biarkan endapan itu menjadi
serpihan-serpihan tajam kembali, simpanlah, milikilah, untuk aku” kataku pada
Badai
“Saat jantungmu memompa darah kesemua bagian tubuh, saat itu pula
cintamu menyebar kesemua bagian terindah dalam hidupku. Bersandinglah serpihan
dengan badai”
“Uluran cinta serpihan segeralah raih wahai badai, aku menunggumu,
menunggu kau labuhkan cinta itu”
Dia indah, dia bagai pujangga
yang dapat membuatku terhipnotis dengan bait-baitnya. Malam kian larut, aku
masih terjaga bersama bait-bait Badai. Tak ingat apapun kecuali bayangan Badai.
“Jagalah setiap detik cintamu, ku harap kau tak melepasnya, agar aku
yakin kaulah tempat terakhir bagiku untuk ku labuhkan kasih sayang. Kala ku
terhempas ku harap kau jadi sandaran. Bila saat kau jatuh, akulah penompang
hidupmu. Dimimpiku, dambakan hadirmu. Dihidup ku, dambakan kedatanganmu. Selalu
dan terus ku ingin kau ada dalam setiap langkahku”. Balas Badai
“Bahagia serpihan kan berbagi dengan badai, menuju bulan di malam,
menemukan gugusan bintang yang terang, merangkai menjadi kata cinta, memandu
kasih seindah aurora”
“Aroma kasih dan sayang mu biarkan mengudara bagaikan asap yang membawa
kita kedalam pelukan cinta” balas Badai.
Saat itu sudah hampir tengah
malam, hujan mulai reda dan mataku mulai sayup oleh rasa kantuk.
“Udah larut, belum ngantuk?” aku
kehabisan kata-kata, dan mengalihkan pembicaraan.
“Belum, he. Kamunya udah ngantuk
ya?” jawab Badai
“Udah”
“Yaudah gih kamunya tidur” suruh
Badai
“Iya, bye” Aku bales pake karaker senyum.
“Tidur nyenyak serpihanku,
larutnya malam hembuskan ketenangan, lentera bulan siurkan kehangatan. Tidurlah
sayang dalam pelukan malaikat yang sengaja ku pinta untuk menemanimu”
Bait itu mengantarkanku kedalam
kelelapan. Aku mulai terbuai mimpi. Badai telah bersandar kepadaku. Menjadi
sandaran Badai bukanlah hal yang mudah. Ombak di lautan lepas membawaku pergi
ke tempat yang salah. Namun Badai yang gagah datang berusaha melepaskanku dalam
keterpurukan. Dalam diamnya, badai berusaha menyusun kepingan-kepingan serpihan
hati ini, dalam sibuknya badai memberikan waktunya untukku. Dan sekarang, dia
menyempurnakan serpihan itu menjadi endapan cinta sebagai penompang hidup dalam
sandarannya. Nyenyaknya tidurku malam ini, rasanya semua beban telah usai,
hingga pagi tiba mentari sangat ramah menyapa, desah pagi dengan lembut berirama,
udaranya memeluk mesra, saat itulah aku memilikinya.
“Aku akan selalu menguntai kata-kata indah. Aku akan menjadi puitisi
terindahmu. Sampai engkau lelah dipelukanku, dan sampai ku sandarkan raga dalam
lahat. Tak akan pernah menyerah digerogoti waktu” sapaan selamat pagi Badai.
“Kau akan selalu menjadi pujanggaku, dan aku pengagum bait-baitmu.
Sampai kau dekap aku, dan sampai kau tak temukan lagi labuhan selain aku. Tak
akan penah menyerah mengiringimu”. Kataku.