Minggu, 15 November 2020

analisis struktur fisik dan batin pisi “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” karya Taufiq Ismail 1996




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bentuk karya sastra puisi mempunyai struktur yang berbeda dengan
prosa. Perbedaan itu tidak hanya dari struktur fisiknya, tetapi juga dari
struktur batin. Dalam hal struktur fisik dan batin, penciptaan puisi menggunakan
prinsip pemadatan yang mengungkapkan bentuk dan makna. Puisi terdiri
atas dua unsur pokok yakni struktur fisik dan struktur batin. Kedua bagian itu
terdiri atas unsur-unsur yang saling megikat sehingga membentuk totalitas
makna yang utuh. Dalam penafsiran sebuah puisi, tak lepas dari kedua unsur
tersebut. Untuk itu pada kajian ini dilakukan analisis terhadap struktur fisik
dan struktur batin puisi berjudul "Kita Adalah Pemilik Syah Republik Ini"
karya Taufik Ismail. Tujuannya adalah mendeskripsikan diksi, imaji, kata
konkret, dan bahasa figuratif serta mendeskripsikan tema, rasa, nada, dan
amanat puisi tersebut. Kajian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan di bidang kesastraan.
Pendektan yang digunakan adalah pendekatan objektif. Sumber data
adalah puisi berjudul "Kita Adalah Pemilik Syah Republik Ini" karya Taufk
Ismail yang diperoleh dari buku kumpulan Tirani dan Benteng.

1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini diantaranya:
1.      Siapakah Taufiq Ismail?
2.      Bagaimana analisis struktur fisik pisi “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” karya Taufiq Ismail
3.      Bagaimana analisis struktur batin puisi “Kita adalah Pemilih Sah Republik Ini” karya Taufiq Ismail?
1.3  Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini diantaranya:
4.      Untuk mengetahui siapa Taufiq Ismail.
5.      Untuk mengetahui struktur fisik pisi “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” karya Taufiq Ismail.
6.      Untuk mengetahui struktur batin puisi “Kita adalah Pemilih Sah Republik Ini” karya Taufiq Ismail.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi Taufiq Ismail
Taufiq Ismail lahir dari pasangan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam dan Sitti Nur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat.[1] Ayahnya adalah seorang ulama dan pendiri PERMI. Ia menghabiskan masa SD di Solo, Semarang, dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, dan SMA di Pekalongan. Taufiq tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.
Semasa kuliah aktif sebagai Aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan WaKa Dewan Mahasiswa UI (1961-1962).
Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor. Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di New York, 1974-1976.
Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerja sama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.
Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kotaAsia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di 3 tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, RRC, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.
Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Mungkin dalam hal ini tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia (Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow: Humanitary, 2004.)
Taufiq Ismail mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993).

2.2 Puisi “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” Karya Taufiq Ismail

Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur.
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran :
“ Duli Tuanku “ ?
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata kuyu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa.
Tidak ada lagi pilihan lai. Kita harus
Berjalan terus.

Taufik Ismail, 1966

2.3 Analisis Struktur Fisik Puisi
Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur itu dapat ditelaan satu-persatu, tetapi unsur itu merupakan suatu kesatuan yang utuh. Unsur-unsur itu diantaranya: diksi, pengimajian, kata konkrit, bahasa figuratif (majas), verifikasi dan tata wajah.

2.3.1 Diksi
Pilihan kata yang dituangkan oleh penyair puisi ini sangat mendukung isi dan tema perjuangan harga diri bangsa. Kata / Kita / yang dominan muncul dalam puisi memberikan makna orang banyak. Makna secara mendalam, kata / Kita / bermakna seluruh rakyat Indonesia yang oleh pengarang secara tidak langsung diajak untuk bangkit dan berjuang melawan segala bentuk penjajahan dan intervensi oleh para penjajah baik secara internal dan eksternal.
Lalu / Para pembunuh / dipilih untuk memaknai para penjajah. Para penjajah dalam puisi ini dimaksudkan sebagai orang-orang yang suka turut campur dalam kepemerintahan bangsa kita. Model dan bentuk penjajahan mereka revisi dalam bentuk gaya baru. Bisa jadi penjajahan gaya baru tersebut terimplementasi dalam bentuk kepemilikan saham-saham, penguasaan dan pengerukan kekayaan alam kita secara tidak terbatas, pemberian bantuan dan modal yang kemudian menjadi beban dan hutang sepanjang hayat, korupsi yang dilakukan oleh orang-orang pribumi sendiri, bahkan penjajahan yang merembes dalam masalah akidah dan moral.
Selanjutnya, kata / Duli tuanku / memberikan makna bahwa bangsa kita adalah bangsa yang selalu berprinsip yes bos, atau yang penting bapak senang. Artinya kondisi bangsa atau rakyat kita selalu siap bekerja menjalankan tugas untuk kepentingan dan kesenangan sang bos, dan menguntungkan si pelaksana tugas, tak peduli orang lain berada dalam penderitaan. Penyakit seperti ini oleh pengarang disodorkan kepada kita untuk dijadikan sebagai bahan perenungan, yang kemudian tercermin melalui beberapa pilihan katanya dalam baris puisi / apakah akan kita jual keyakinan kita / dan / dalam pengabdian tanpa harga ? /. Sedangkan kata-kata; / banjir / gunung api /, / kutuk dan hama / merupakan pilihan kata yang menggambarkan kesusahan dan penderitaan rakyat Indonesia, yang mau tidak mau, suka maupun tidak suka kita harus keluar dari kondisi seperti itu. Oleh karenanya, penyairn memilih kata-katanya sebagai berikut ; / tidak ada lagi pilihan. Kita harus / berjalan terus / karena berhenti atau mundur / berarti hancur /.

2.3.2 Pengimajian
Taufik Ismail sangat ahli sekali dalam memilih kata-kata. Beliau sangat hati-hati sekali dalam mengolah dan mengemas kata-kata tersebut sehingga tidak heran kalau pilihan kata-kata yang Beliau ambilpun didalamnya mengandung suatu imaji atau citraan yang tersirat didalamnya. Kalimat / kita adalah manusia bermata kuyu, di pinggir jalan / mengandung imaji penglihatan, karena orang yang bermata sayu dan berdiri di pinggir jalan tentunya dapat kita lihat atau dapat diamati. Citraan ini mengandung makna bahwa orang yang bermata sayu seakan-akan kelihatan seperti sehabis bangun tidur, kelihatan ngantuk dan malas, matanya kurang bercahaya. Apalagi berdiri di pinggir jalan. Citraan ini menggambarkan kondisi masyarakat yang yang hanya mampu berusaha melihat dan menerawang masa depan yang nampak suram dan samara.
Kalimat / mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh / menimbulkan imaji penglihatan, karena kondisi orang yang mengacungkan tangan atau melambaikan tangan untuk menghentikan sebuah bus atau oplet tentunya dapat dilihat dan bukan didengar. Pada dasarnya orang yang mengacungkan tangan untuk sebuah bus atau oplet yang sudah penuh tentunya bus atau oplet tersebut tidak akan mau berhenti untuk mengangkut penumpang dan pasti bus atau oplet itu berlalu dan meninggalkan penumpang tersebut. Citraan ini memperkuat kondisi bangsa kita atau rakyat kita yang tidak mempunyai kesempatan untuk melaju bahkan hanya tertinggal dan terbelakang dalam segala hal. Ketertinggalan dan keterbelakangan itu terutama di bidang pendidikan dan bidang teknologi bahkan ekonomi.

2.3.3 Kata Konkrit
Dalam puisi ini kata-kata seperti / meja / sangat memperkongkret makna sebuah kerja sama atau pelaksanaaan-pelaksanaan perundingan untuk menempuh suatu tujuan. Kata / berjalan / merupakan sesuatu kegiatan yang dilakukan dengan cara bergerak meninggalkan satu tempat ke tempat yang lain. Kata ini memperkongkret makna bahwa kita harus melakukan perubahan atau hijrah dari situasi terpuruk untuk bangkit menuju ke arah kemajuan dan kemandirian bangsa.

2.3.4 Bahasa Figuratif (Majas)
Secara sadar dan sengaja penulis menyulap kata-kata yang biasa menjadi kata-kata yang indah dan sarat dengan variasi makna. Karena Taufik Ismail tidak mengungkapkan makna itu secara gamblang. Dengan keahliannya dalam mengolah gaya bahasa beliau sengaja menyembunyikan makna di dalam suatu kata atau kalimat supaya pembacanya mengartikan sendiri apa maksud dari kata-kata tersebut. Nampaknya itulah yang dikehendaki oleh penyair, sehingga kita harus membacanya dengan penuh kosentrasi dan tingkat penalaran yang tinggi agar tahu apa maksud kata tersebut.
Baris puisi berikut misalnya / dipukul banjir, gunung api kutuk dan hama / gaya bahasa personifikasi ini digunakan oleh pengarang dengan maksud lebih menerangkan kondisi bangsa kita, seolah-olah bencana alam bertindak sebagai manusia raksasa yang kapan saja bisa dating memukul dan menghancurkan kehidupan rakyat Indonesia.
Selain itu terdapat pula gaya bahasa hiperbola yang nampak pada kalimat / apakah akan kita jual keyakinan kita /. Menjual keyakinan merupakan sesuatu tindakan yang berlebihan dan tidak masuk akal, karena sesungguhnya keyakinan itu berwujud materi yang dapat diperjualbelikan. Akan tetapi kalimat dalam puisi ini hanya lebih memperjelas makna untuk membangkitkan semangat juang seluruh rakyat Indonesia guna mempertahankan semua harta dan kekayaan alam. Selain itu, gaya bahasa tersebut lebih menekankan agar seluruh rakyat harus memegang teguh prinsip dan ideology bangsa Indonesia yang hamper pupus ditelan arus globalisasi dan tergilas oleh perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa-bangsa lain yang dianggap sebagai penjajah itu.
2.3.5 Verifikasi
Pada puisi Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini kita lihat bunyi akhir pada kata-kata di beberapa baris pertama dan penutup. / Tidak ada lagi pilihan lain, kita harus / Berjalan terus karena berhenti atau mundur / Berarti hancur. Pada baris pertama dan kedua ada persamaan bunyi kata pada akhir kalimat yaitu bunyi us, dan pada baris ketiga dan keempat ada persamaan bunyi kata yaitu ur. Bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh konsonan tersebut mampu menciptakan musikalitas yang indah saat dibaca. Pada kalimat berikut ini “Duli Tuanku ?” tanda petik menandakan bahwa bacaan tersebut dibaca agak keras dan tinggi. Contoh pengulangan bunyi terdapat pada kalimat Tidak ada pilihan lain, kita harus / Berjalan terus. Frase tersebut terdapat pengulangan bunyi pada baris berikutnya yaitu pada baris ke-7, ke-8, ke-16, dan ke-17. Frase tersebut sengaja diulang oleh Taufik Ismail guna mengikat beberapa baris berikutnya seakan-akan membentuk suatu gelombang yang teratur.
2.4 Analisis Struktur Batin Puisi
Struktur batin puisi adala medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan penyair. I.A. Richards menyebut makna atau struktur batin itu dengan istilah hakikat puisi (dalam Waluyo, 1987 : 106). Ada empat unsur hakikat puisi, yakni: tema, perasaan penyair, nada atau sikap penyair terhadap pembaca, dan amanat.
2.4.1 Tema
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa puisi ini bernuansa perjuangan bangsa Indonesia atau kata lainnya patriotisme. Tema ini diangkat karena puisi ini sangat memberikan gambaran tentang ikhtiar bangsa kita yang ingin maju, bangkit dan memperjuangkan harga diri dan citranya. Tema ini disuguhkan oleh pengarang yang notabene adalah orang Indonesia, karena melihat realitas bangsa kita yang carut marut. Kondisi bangsa kita yang buruk indikasinya dapat dilihat melalui degradasi moral. Banyak punggawa bangsa kita yang kurang jujur, selalu terlibat korupsi. Beberapa para penegak hukum pun yang dianggap sebagai pahlawan rakyat ternyata tidak jauh berbeda dengan para mafia. Segala macam pesan berbau politik dan berbagai hubungan-hubungan kerja sama yang dapat merugikan bangsa kita di akhir kemudian selalu di tempuh. Perputaran roda ekonomi melalui mega proyek sangat didominasi oleh para investor asing. Mereka bebas mengeruk harta kekayaan sumber daya alam yang tersedia. Melalui kepiawaian dalam memilih bahasa, diketahui makna puisi ini mampu membangkitkan semangat rakyat Indonesia yang telah merdeka untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut.
Taufik Ismail berhasil menyuguhkan tema perjuangan, nada yang bersifat menyulut atau mendorong, serta dan membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk terus maju dan tidak mau lagi dibohongi oleh kaum penjajah baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
2.4.2 Perasaan
Puisi ini mampu membangkitkan rasa nasionalisme bangsa yang tinggi. / kita adalah pemilik sah republik ini / kalimat ini memberikan makna sebuah pengakuan rasa juang yang tinggi dan cinta yang sangat tulus terhadap bangsa indonesia. Perasaan ini muncul akibat puisi ini pun menyodorkan makna yang mampu mendongkrak semangat pembaca. Kekuatan kata-kata yang terdapat pada baris, kalimat, dan setiap bait mampu membangkitkan luapan emosi kepedulian atau keprihatinan pembaca dalam hal ini rakyat Indonesia secara utuh untuk segera melakukan perjuangan. Rasa ingin bangkit dan berjuang ini dapat dicerna melalui baris puisi / tiada ada lagi pilihan / kita harus berjalan terus /. Frase / berjalan terus / dapat dimaknai sebagai sebuah perjuangan. Makna perjuangan di sini merupakan upaya sadar untuk melakukan suatu perubahan untuk mandiri dan merdeka secara hakiki.



2.4.3 Nada dan Suasana
Ketika kita membaca puisi tersebut, suasana hati pembaca akan ikut sedih dan geram terhadap kondisi bangsa Indonesia yang dilukiskan oleh taufik ismail. Hal itu terjadi karena nada penyair melalui puisi bersifat mendorong atau membangkitkan hait nurani rakyat Indonesia. Pengarang bermaksud menyulut pembaca melalui setiap kata yang terurai pada setiap baris dan bait puisi. Misalnya, / akan maukah kita duduk meja dengan para pembunuh tahun yang lalu /, sebuah kalimat pertanyaan yang yang cukup indah dan menggelorakan dan menggetarkan jiwa untuk menolak dan benci terhadap berbagai bentuk penjajahan. Lalu / dalam setiap kalimat yang, berakiran ‘ duli tuanku ‘ ? kalimat ini pun mampu membangkitkan semangat untuk tidak mau lagi diperbudak, dikendalikan atau dijadikan alat oleh penjajah untuk mencapai kepentingan dan kesenangan mereka. Kita ingin bebas dan merdeka secara utuh. Apalagi bangsa kita sudah sangat sudah dan menderita akibat berbagai bencana alam yang terjadi. Hal ini dapat dimaknai pula melalui penggalan sajak berikut ini; / kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara / dipukul banjir, gunung api, kutuk, dan hama / dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka /.
2.4.4 Amanat
Sebagai puisi perjuangan atau patriotisme, maka puisi ini memilik pesan yang mendalam. Pesan atau amanat tersebut sangat erat kaitannya terhadap rakyat Indonesia yang merasa memiliki republic ini secara sah. Oleh sebab itu, amanat puisi ini adalah sebaiknya kita mampu mempertahankan kemerdekaan ini dan terus berjuang melakukan perubahan kea rah perbaikan nasib dan citra bangsa untuk menjadi mandiri, cerdas, bermoral, sejahtera dan amanah.
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa puisi ‘ kita adalah pemilik sah republic ini ‘ karya taufik ismail ini merupakan puisi yang merefleksikan sejarah Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari bahasa yang digunakan dalam puisinya. Dengan bahasa yang begitu menggugah dan menggelora, dapat dinyatakan bahwa makna puisi tersebut sangat mendorong dan bersifat mendobrak keterkungkungan rakyat Indonesia dari bentuk penjajahan baik yang dating dari luar negeri maupun dari dalam negeri.




BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Taufiq Ismail adalah penyair angkatan tahun 66. Ia adalah pelopor puisi-puisi demonstrasi. Salah satu puisinya yaitu “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini”. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa puisi ini bernuansa perjuangan bangsa Indonesia. Melalui kepiawaian dalam memilih bahasa, diketahui makna puisi ini mampu membangkitkan semangat rakyat Indonesia yang telah merdeka
untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut. Taufik Ismail berhasil
menyuguhkan tema perjuangan, nada yang bersifat menyulut atau mendorong,
serta dan membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk terus maju
dan tidak mau lagi dibohongi oleh kaum penjajah baik yang berasal dari
dalam maupun luar negeri.
3.2 Saran
Sebagai penikmat sastra khususnya puisi, ada baiknya kita mengetahui apa saja yang terdapat dalam suatu puisi yang kita baca, baik itu struktur fisik maupun struktur batin dalam puisi tersebut. Dengan demikian kita akan mengetahui apa yang tedapat dalam puisi tersebut secara mendalam.







DAFTAR PUSTAKA


Sayuti, A. Sumianto. 2005. Taufik Ismail : Karya dan Dunianya. Jakarta: PT
Grasindo.

Waluyo, J. Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Surakarta : PT Gelora
Aksara Pratama.



1 komentar:

Teks Dadaran (Deskripsi) Jajampanaan

  Jajampanaan kecap jajampanaan asalna tina kecap "jampana" nyaeta alat nu dijieun tina kai atau awi pikeun ngagotong nu gering, n...