Jumat, 25 April 2014

Cerpen Bait Pengantar Tidur

Bait Pengantar Tidur
Siti Nursansan




Aku badai, datang dengan sendirinya. Setelah badai berlalu ku ukir namamu dalam gugusan karang di sisi pantai. Sebuah bait itu cukup menghibur hatiku. Aku tak tau kenapa setiap kali hati ini terpuruk, Badai bisa membuatku pulih. Aku cukup dekat dengan Badai walau belum terlalu lama aku mengenalnya.

Lamunan ini mulai membuka ingatan tadi siang, ketika orang yang aku anggap kekasih menyuguhkan sayatan dihati ini, sesak rasanya. Sore ini hujan deras, dan aku benci ini, benci karena suasananya membuatku memikirkannya kembali. Aku benci ketika malam mulai datang, karena sunyinya mengingatkan aku akan sosoknya.

“Hujan tolong reda dulu, jangan bergemuruh agar suaraku terdengar nyaring. Ku ingin sampaikan suara keras pada serpihan. Suara keras ini bukan gertakan, melainkan suara hati yang mendasari rindu”. Sebuah email dari Badai. Aku tersenyum usai membacanya. Sebuah baitnya mengalihkan perhatian ku pada kejadian tadi siang. Rasanya aku mulai lelah menjalin hubungan dengan kekasihku, bagaimana tidak, selalu saja ada masalah setiap harinya. Aku rasa kita sudah tidak sejalan. Aku coba memberanikan diri untuk menelponnya, beberapa saat kemudian dia angkat.

“Hallo?”
“Hallo” belum ada yang memulai pembicaraan, suasana mulai hening.
“Ari?” Aku coba memulai
“Iya sayang? Kamu belum tidur?” Aku heran, sikapnya mulai manis kembali
“Belum” kita sama-sama diam.
“Mmmm maafin aku tadi siang ya, aku bentak-bentak kamu, aku nyesel” kata Ari
“Yaudah gapapa, tapi Ari aku rasa kita udah gak sejalan lagi lebih baik kita akhiri. Kita sama-sama pengen menang sendiri, kita masih belum dewasa, apa-apa marahan, dikit-dikit berantem, aku mau udahan”
“Tapi aku sayang kamu, aku kayak gini karna kamu juga kan, aku gak mau pu....” tut tut tut aku tutup telponnya, aku gak mau denger itu, aku takut Ari mengurungkan niatku lagi.

Dia terus menghubungiku, tak mau ambil pusing aku matikan HP nya. Aku mulai menghempaskan badanku ditempat tidur, aku pandang langit-langit, tak ada yang indah sedikitpun. Malam ini, aku ingin segera berakhir. Laptop berbunyi, ada sebuah email masuk.

“Saat malam akan bergulir, ku tetap kokoh tak terlelap. Ku haram embun di pagi nanti mencair, sesempurna malam yang melelapkanmu yang diselimuti mimpi dan lelahmu. Yakinkan aku untuk memelukmu meski ku peluk kasihmu yang tak teraba”. Lagi-lagi Badai berhasil membuatku melupakan penat. Dia ibarat matahari yang tiba-tiba bersinar saat mendung.

“Inilah aku, hanya semilir angin yang sekedar dapat kau rasa, namun tak dapat kau baca” aku balas email Badai dengan kata-kata yang diulik dalam sebuah puisi. Kita pun akhirnya chattingan.

“Memandang langit, tak menyurutkanku untuk temani harimu. Rintik hujan yang deras tak menghalangiku untuk cerahkan mimpimu”. Tak sampai semenit Badai membalas lagi

“Andai saja kau ditakdirkan sebagai badai penghapus luka ku, mungkin kelambu yang kelam akan bergeser menjadi terang” aku kurang pandai merangkai kata, jadi masih amatiran jika harus berbalas sebuah bait dengnnya. Beberapa saat kemudian Badai balas

Untuk serpihan, angin yang mengudara masih bernyanyi di musim ini. Membawa sekian duka, tawa dan air mata, mewarnai hidupmu. Jeritan awan meneteskan hujan dimalam hari. Mengguyur kasih, membekukan kekasaran sang malam. Terjangnya gugusan tebing di bukit rindu, mengisyaratkan susahnya hatimu tuk dilalui. Tak sampai disini, akulah badai yang akan merobohkan lukamu”. Semakin mengagumkan kata-katanya, membuat hati ini lumer. Aku mulai berfikir, memutar otak untuk balas bait Badai.

“Larutkanlah aku dalam endapan cintamu, walau tak seorangpun tau kaulah badai penyembuh luka ku”

“Ku rangkai endapan mu dalam sebuah zat kasih menjadi utuh kembali. Yakinlah padaku, kara aku jua yakin padamu. Berikan kata pasti, bukan dusta ! kau mengikat cintaku, dan cintaku terikat oleh mu. Aku tak mampu berdiri bila kau tak membangunkanku. Untuk cinta itu, ketika kau sendiri hapiri aku, rajutlah cinta itu menjadi sulaman kehidupan bagi kita”

Kali ini Badai benar-benar membuatku luluh, bahkan jatuh cinta. Bukan karena bait-baitnya tapi dia benar-benar membuatku nyaman.
“Dekaplah rangkaian itu, jangan biarkan endapan itu menjadi serpihan-serpihan tajam kembali, simpanlah, milikilah, untuk aku” kataku pada Badai

“Saat jantungmu memompa darah kesemua bagian tubuh, saat itu pula cintamu menyebar kesemua bagian terindah dalam hidupku. Bersandinglah serpihan dengan badai”

“Uluran cinta serpihan segeralah raih wahai badai, aku menunggumu, menunggu kau labuhkan cinta itu”

Dia indah, dia bagai pujangga yang dapat membuatku terhipnotis dengan bait-baitnya. Malam kian larut, aku masih terjaga bersama bait-bait Badai. Tak ingat apapun kecuali bayangan Badai.

“Jagalah setiap detik cintamu, ku harap kau tak melepasnya, agar aku yakin kaulah tempat terakhir bagiku untuk ku labuhkan kasih sayang. Kala ku terhempas ku harap kau jadi sandaran. Bila saat kau jatuh, akulah penompang hidupmu. Dimimpiku, dambakan hadirmu. Dihidup ku, dambakan kedatanganmu. Selalu dan terus ku ingin kau ada dalam setiap langkahku”. Balas Badai

“Bahagia serpihan kan berbagi dengan badai, menuju bulan di malam, menemukan gugusan bintang yang terang, merangkai menjadi kata cinta, memandu kasih seindah aurora”

“Aroma kasih dan sayang mu biarkan mengudara bagaikan asap yang membawa kita kedalam pelukan cinta” balas Badai.

Saat itu sudah hampir tengah malam, hujan mulai reda dan mataku mulai sayup oleh rasa kantuk.
“Udah larut, belum ngantuk?” aku kehabisan kata-kata, dan mengalihkan pembicaraan.
“Belum, he. Kamunya udah ngantuk ya?” jawab Badai
“Udah”
“Yaudah gih kamunya tidur” suruh Badai
“Iya, bye” Aku bales pake karaker senyum.

“Tidur nyenyak serpihanku, larutnya malam hembuskan ketenangan, lentera bulan siurkan kehangatan. Tidurlah sayang dalam pelukan malaikat yang sengaja ku pinta untuk menemanimu”

Bait itu mengantarkanku kedalam kelelapan. Aku mulai terbuai mimpi. Badai telah bersandar kepadaku. Menjadi sandaran Badai bukanlah hal yang mudah. Ombak di lautan lepas membawaku pergi ke tempat yang salah. Namun Badai yang gagah datang berusaha melepaskanku dalam keterpurukan. Dalam diamnya, badai berusaha menyusun kepingan-kepingan serpihan hati ini, dalam sibuknya badai memberikan waktunya untukku. Dan sekarang, dia menyempurnakan serpihan itu menjadi endapan cinta sebagai penompang hidup dalam sandarannya. Nyenyaknya tidurku malam ini, rasanya semua beban telah usai, hingga pagi tiba mentari sangat ramah menyapa, desah pagi dengan lembut berirama, udaranya memeluk mesra, saat itulah aku memilikinya.

“Aku akan selalu menguntai kata-kata indah. Aku akan menjadi puitisi terindahmu. Sampai engkau lelah dipelukanku, dan sampai ku sandarkan raga dalam lahat. Tak akan pernah menyerah digerogoti waktu” sapaan selamat pagi Badai.

“Kau akan selalu menjadi pujanggaku, dan aku pengagum bait-baitmu. Sampai kau dekap aku, dan sampai kau tak temukan lagi labuhan selain aku. Tak akan penah menyerah mengiringimu”. Kataku.


Teks Dadaran (Deskripsi) Jajampanaan

  Jajampanaan kecap jajampanaan asalna tina kecap "jampana" nyaeta alat nu dijieun tina kai atau awi pikeun ngagotong nu gering, n...